A.
TA’RIF ASWAJA
Mungkin Ibnu Majah tidak akan menyangka jika
salah satu hadits yang dia bukukan akan menjadi polemik yang berkepanjangan di
kalangan pemikir Islam . Sebuah hadits yang sampai saat ini sering digunakan
sebagai klaim kebenaran aliran Islam tentang keberadaan satu-satunya
golongan dalam agama Islam yang selamat yaitu Ma ana ‘alaihi Wa ash-haabih yang
kemudian diidentikkan dengan istilah ahlussunnah wal Jamaah, terlepas
kontrofersi akan keshohihan hadits tersebut. Yang jelas istilah Aswaja (ahlussunnah
Wal Jamaah) yang dilahirkan dari rahim hadits tersebut pada perkembangan
sejarah selanjutnya telah merambah pada wilayah ‘Ilmu Kalam terus masuk pada wilayah Madzhab dan
bahkan kini telah dijustifikasi atau mungkin dipaksakan untuk menjadi sebuah
ideology.
Ahlussunnah
Wal Jamaah
(bukan ahlus sun wal Jima’) yang lahir dan berproses dalam
sejarah , saat ini telah menjadi sebuah term yang tidak jelas, sulit
didefinisikan dan terkesan mengalami penyempitan makna dan pengingkaran
terhadap factor histories. Untuk itu perlu kiranya kita mencoba membedah dan
mendudukkan istilah tersebut secara arif dan jujur dalam rangka membangun
kembali esensi aswaja untuk bisa dijadikan Manhajul Fikri seperti
yang telah dirintis oleh kang Said Aqiel
Siradj
Pada
tahun 1995 yang sebenarnya
sangat tepat untuk
dibawa pada sebuah pendekatan ideologi .
- PENGERTIAN DAN
HISTORISITAS
Ahlussunnah jika dipilah secara
Harfiah bisa dibagi menjadi dua istilah yakni ahlussunnah dan Al
Jamaah. Ahlussunnah dapat didefinisikan sebagai berikut :
- Golongan
yang mewarisi hadits Nabi yang shohih (Duhr Al Islam, Ahmad Amin),
2.
Semua
yang berasal dari Nabi
3.
Pengikut
Nabi
Sedang beberapa
pendefinisian Al Jamaah yang bisa kami tampilkan disini antara lain :
- Mayoritas
umat Islam, Jamaah terbesar dan umat terbesar (Sadru syarih Al Mahbubi)
2.
Jalan
yang di bangun oleh para shahabat Nabi (Imam Zubaidi)
3.
Al
I’tishan (Syatibi) , al jamaah menyangkut lima
pengertian
a.
Shohabat
b.
Ulama’
Mujtahid
c.
Kesepakatan
kaum Muslimin
d.
Umat
Islam dengan satu kepemimpinan
e.
Umat
Islam Mayoritas
Dari
berbagai pendekatan definisi tersebut, dapat diambil pengertian secara tekstual
bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah adalah :
Golongan
kaum Muslimin yang mengkikuti jejak Rasulullah dan shahabat dalam membangun
metode pemahaman, dan menafsirkan nash
Selain
itu ada banyak lagi pendefinisian istilah aswaja , misalnya yang di
identikkan dengan manhaj salaf, seperti yang dilontarkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taymiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa , beliau menyatakan
bahwa Aswaja adalah manhaj yang mengikuti atsar Rasulullah secara dhahir dan
bathin, para khulafaurrasyidin dan meninggalkan segala bid’ah yang bukan
dari Rasulullah.
Dari dua pendefinisian ini dirasa cukup
representatif sebagai bahan ilustrasi awal dan tidak perlu diperdebatkan lagi
berbagai perbedaan yang tidak substansi akan berbagai definisi harfiah maupun
istilah yang ada dan berkembang dalam khazanah Islam. Dan untuk berikutnya mari
kita lihat sekilas sejarah dan realitas kemunculan dan perkembangan paham Ahlussunnah
wal Jamaah demi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh.
Meskipun secara
panjang lebar sejarah kemunculan aswaja sebagai sebuah paham adalah semenjak
terjadinya perseteruan antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah, yang
kemudian muncul kelompok khowarij dan murji’ah hingga mu’tazilah, namun kita
akan melihat lebih jelas pada kemunculan paham aswaja yang dibawa Abu Hasan
al Asyari (873-935 H). Beliau pada awalnya adalah tokoh utama paham Mu’tazilah
di Basrah murid dari Al Juba’i. Kompetisi teologi pada saat itu memang sangat
menguntungkan bagi kaum mu’tazilah sehingga menempatkan paham itu sebagai
ideology Negara. Sedangkan golongan/komunitas ahlu hadits sebagai salah
satu unsur penting pembentuk paham aswaja pada saat itu sangat
termarginalkan bahkan mengalami tekanan berat oleh penguasa. Sampai pada saat
kepemimpinan Daulah Abasyiah berada di tangan Al Mutawakil
,ideology Mu’tazilah mengalami penggusuran dan disatu sisi paham Ahlul
Hadits mulai mendapat tempat.
Asy’ari yang
kemudian meninggalkan paham mu’tazilah dan membuat sebuah rumusan pemahaman
kalam (yang dikenal dengan paham Asy’ariah) dan mendudukkan secara arif
mengenai ; salafiah(tekstualis) vs ahlur ra’yu(rasionalis), jabariah(fatalism)
vs qadariah (Freewillism). Dia membangun rumusan kalam dan melakukan sintesis
terhadap pemahaman mu’tazilah yang sangat menkedepankan akal dan logika dengan
paham ahlu hadits (Ahmad bin Hambal dkk) yang cenderung tekstual terhadap
pemahaman agama. Hal ini tampak jelas dalam 2 kitab yang dia susun yaitu Al
Istihsan yang berisi tentang perlunya penggunaan Ilmu Kalam dan Mantiq
(logika/akal) dalam menyentuh ajaran Islam, serta Al lbanah yang tentang
keterbatasan akal (rasionaltas) dalam memahami ajaran Islam.
Paham asy’ariah yang berisi berbagai
konsep berfikir dan kerangka metodologis kalam dalam membaca ajaran islam baik
menyangkut masalah ilahiyah maupun insaniyah tersebut kemudian berkembang pesat
dan semakin dibesarkan oleh tokoh-tokoh pemikir Islam di era sesudahnya seperti
Al Juwaini, Al Baqillani , dan Imam Ghozali. Bahkan Al Ghozali
sebagai salah satu Tokoh utama kaum sunny, lewat Ihya’ Ulumuddin-nya
bisa menempatkan tasawwuf secara proporsional ditengah konfrontasi Ilmu
tashawuf antara tashawwuf salafi dan falsafati sehingga beliau mendapat gelal
Hujjattul Islamm (sumber rujukan umat Islam), dan hal ini semakin memperkuat
posisi Aswaja sebaga paham yang dianut mayoritas umat Islam sampai saat
ini.
Sejak itulah Aswaja sebagai sebuah
pemahaman komprehensif seolah-olah sudah dikatakan final dalam membangun tauhid
Islam, bahkan telah termaterialkan dalam segala produk-produk ijtihad baik diwilayah I’tiqod maupun syariat. Namun
rupanya sukses kaum sunny dalam mengusung
Aswaja sehingga bisa diterima umat Islam tersebut malah membawa
dampak pada kemunduran dan penyempitan Aswaja dimana sejarah telah
mengawalinya sebagai sebuah metodologi pemahaman menjadi sebuah madzhab
yang kaku dan ekslusif. Dan hal ini semakin parah ketika kemudian diiringi
dengan bermunculannya berbagai organisasi gerakan Islam yang menempatkan Aswaja
sebagai Madzhab yang dibakukan dengan berbagai versi yang berbeda.
Untuk
itu perlu kita ungkap kembali sejarah
dan kita bongkar bagaimana aswaja lahir dalam khazanah Islam dalam
rangka untuk menempatkan aswaja sebagaimana mestinya, bukan merupakan
aqwal yang sudah final.
B. ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR DAN TRANSFORMASI SOSIAL
Sebagai
upaya ‘kontektualisasi’ dan aktualisasi aswaja tersebut, rupanya perlu bagi
PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba
mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai ‘sudut pandang/perspektif’
dalam rangka membaca realiatas Ketuhanan, realitas manusia dan
kemanusiaan serta realitas alam semesta. Namun tidak hanya berhenti
sampai disitu , Aswaja sebaga Manhajul Fikri harus bisa menjadi
’busur’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya
mengkontekstualisasikan ajaran Islam
sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai rohmatan Lil Alamin,
dengan tetap memegang tiga prinsip dasar Aswaja , yaitu :
1.
Tawasuth .
Moderat, penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk
menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip
utama dalam memanivestasikan paham Aswaja.
2.
Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa
nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola
pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan)
3.
Tasamuh
Toleransi, sebuah
prinsip yang fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap
keterbukaan dan toleransi. Hal ini lebih diilhami dengan makna “lakum
dinukum waliyadin” dan “walana a’maluna walakum a’maluku”, sehingga metode
berfikir ala aswaja adalah membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan
sentimentil pribadi ataupun bersama.
4.
Al i’tidal
Keadilan, adalah
konsep tentang adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir
ala aswaja. Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliah
harus diilhami dengan visi keadilan
Gambar
2
Aswaja sebagai Manhajul Fikri
NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP)
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAMINDONESIA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM
MUKADDIMAH
Berkat
rahmat dan hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan
potensi insan warga pergerakan untuk dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku yang kemudian
menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hal ini
dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan wawasan
pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan
dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud
didirikannya organisasi ini.
Insaf
dan sadar bahwa semua itu adalah keharusan bagi setiap fungsionaris maupun
anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik
secara orang perorang maupun bersama-sama.
ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
1. Arti :
Secara
esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang
menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak
kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam
mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah,
syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia
dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut,
PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling
benar.
2.
Fungsi :
i.
Landasan berpijak:
Bahwa
NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
ii.
Landasan berpikir :
Bahwa
NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi.
iii.
Sumber motivasi :
Bahwa
NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan
nilai yang terkandung di dalamnya.
3. Kedudukan
:
i.
Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal
dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII.
ii.
Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan
berprilaku.
RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1. TAUHID :
Meng-Esakan
Allah SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah
terkandung sejak awal keberadaan manusia.
Allah
adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan
perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan,
memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga
menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui,
Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha
Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakina
seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada
alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh
karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi
sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan
perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu
melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan
dan merambah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan
telah memiliki Ahlussunnah wal jama'ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan
keyakinan itu.
2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH.
Allah
adalah Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di
hadapan ciptaan-Nya yang lain.
Kedudukan
seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan
kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi
sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia
memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan
kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan
ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral
yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan
yang rendah.
Dengan
demikian, dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola
hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan
manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani
secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil
mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia
kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya
manusia tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal.
Pola
hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini
dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam
menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil
optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan
menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan
menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang
berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun
tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah.
Dengan
karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya,
yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang
dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan
fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah -
fitrah suci yang selalu memproyeksikan tentang kebaikan dan keindahan, sehingga
tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, Manusia
berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan
berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan fungsi
Arrahman dan Arrahim. Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan
untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al Ghoniyyu.
Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al Mukmin, dan
lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan seperangkat
potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niat yang sungguh-sungguh, akan
memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asma'ul Husna.
Di dalam
melakukan pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan
menentukan dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya
manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan,
karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal
kemerdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama
dalam konteks kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab
perubahan dan perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15)
Sekalipun
di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk
menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh
keterbatasan-keterbatasan, sebab perputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan
oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam
ciptaanNya ini selalu tunduk pada sunnahNya, pada keharusan universal atau
takdir. 16 ) Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk
menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau
bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak
terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan
keterbatasan- keterbatasannya, karena semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum
alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus
diserrtai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup
dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk
berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka
harus ditanggapi dengan lapang dada, qona'ah (menerima) karena disitulah
sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai
dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17 )
3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Kenyataan
bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa
manusia berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah.
Memahami
ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai
kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia
manusia adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai
mukmin manusia adalah bersaudara. 18)
Tidak
ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena
ketakwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang
menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang
terlalu menonjol potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya
saling mengenal, selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait
mengkait atau setidaknya manusia harus berlomba dalam mencari dan mencapai
kebaikan, oleh karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati,
bekerjasama, tolong menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran
demi kebaikan bersama.
Manusia
telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan
tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil
cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya
manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah.
Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan
dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga
budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai
tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka
bersikap tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam
kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah
dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru
manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia.
Dengan
demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia
dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam
selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana.
Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna
mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan
itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing ,
berderajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan
kerjasama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog
antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan
sepanjang sejarah.
Melalui
pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara
dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan
kerelaan dan kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan
saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk
mewujudkan cita-cita bersama : hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan
dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan
perintah serta adanya permusyawaratan.
Sedangkan
hubungan antara muslim dan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia
dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam
sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini,
dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan
bersama ummat manusia.
Nilai -nilai
yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudaraan
antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam , persaudaraan sesama warga
bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia . Perilaku persaudaraan ini ,
harus menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapat memberikan
kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan persaudaraan.
4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan
Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga
menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga
nilai tauhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam .
Sebagai
ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah
menundukan alam bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang
terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan
penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai
khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam
bertauhid dan menegaskan dirinya. 23)
Perlakuan
manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia
dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya
berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25)
Sebab akhirat adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26)
Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia
benar-benar fungsional dan beramal shaleh. 27)
Kearah
semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya
cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan
pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan
antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk
mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini
haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan.
Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam
untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja
sama , tolong menolong dan tenggang rasa.
Salah
satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka
memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia .
Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan,
dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah bukanlah sepenuhnya siap pakai,
melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk
mendayagunakannya.
Namun
pada dasarnya ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan
pengembangannya disandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat
tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan
pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral,
potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu
diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap
ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan
kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul
penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek merupakan
perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama
digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis.
Penciptaan,
pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit
dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan
kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut
menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian.
Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup
manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid,
manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi
PENUTUP
Itulah
Nilai Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dipergunakan sebagai
landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam pola pikir, pola sikap dan
pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama dan
kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan dipahami secara mendalam,
dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara teguh dan dilaksanakan secara
bijaksana.
Dengan
Nilai Dasar Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur ,
berilmu, bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu
pengetahuannya, yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan
peranannya sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan
berkembang , beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berketuhanan.
0 komentar:
Posting Komentar